Bagian pertama, etika welas asih pembaruan, yang mengkaji tentang etos pembaruan Kiai Ahmad Dahlan, dimana saat publik umat waktu itu memandang haram seorang muslim berteman orang-orang Belanda, dan mereka yang beragama Nasrani. Menurut Muhammad Dahlan kondisi pada saat itu yang memang sangat antipati terhadap barat, bahkan segala hal yang berasal dari barat dianggap haram meskipun itu suatu model pendidikan yang dianggap berguna.[1] Namun Kiai Ahmad Dahlan justru mendirikan rumah sakit, bekerjasama dengan dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan bekerja secara sukarela. Meski hari ini masih ada sebagian kelompok yang masih menganggap hal tersebut haram.
Rasionalisasi fungsional yang melahirkan etika welas kasih bisa disebut sebagai paradigma pembaruan Kiai Ahmad Dahlan dalam merealisasikan islam yang ia pahami dalam praktik kehidupan sosial. Beberapa buah pemikiran Kiai Ahmad Dahlan mengenai kemanusiaan, hubungan antar Bangsa, ilmu dan pokok-pokok isi Kitab Suci Al Quran terdapat pada beberapa naskah seperti; Tali Pengikat Hidup Manusia, Modernist Islam: A Source Book, dan The Humanity of Human Life.
Organisasi yang pada awalnya berdiri sebagai organisasi dalam pengentasan masalah sosial ditengan masyarakat kala itu, sebagai manifestasi dari Q.S al-Maun 107:1-7. Muhammadiyah mempelopori berdirinya Panti Yatim Piatu. Selanjutnya, menyantuni kaum dhuafa’ dengan membentuk Majelis Penolong Kesejahteraan Oemoem (MPKO) tahun 1918.[2]
Pemahaman Kiai Ahamad Dahlan yang terbaca dari berbagai aksi sosial merupakan tafsiran Surat Al-Ma’un. Tafsir Kiai atas Al’maun (barang berguna) itu mendasari karya amalnya berupa rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo, rumah miskin, dan berbagai aksi sosial yang seluruhnya diperuntukkan bagi kaum duafa.
Pemberdayaan masyarakat lazim dikonsepsikan sebagai usaha melakukan perubahan kondisi sosial dan ekonomi, dengan dilandasi oleh perencanaan ke arah yang lebih baik, dalam rangka meningkatkan aset dan kapabilitas kelompok miskin.[3] Seorang pemimpin yang visioner seharusnya sudah memiliki perencanaan atau konsep yang matang. Sebagaimana Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang sempurna, sebelum terjun ke medan pejuangan islam, telah membuat perencanaan yang matang sehingga dalam mensyiarkan Islam selalu berhasil dan perlahan-lahan para pengikutnya bertambah banyak[4]
K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan banyak sekali konsep kehidupan yang kemudian diterapkan di organisasi Muhammadiyah. Seperti ia menekankan untuk berjuang sungguh-sungguh dalam menyebarkan Islam melalui Muhamamdiyah dengan salah satu perkataannya yang terkenal yaitu “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan engkau mencari hidup di Muhammadiyah”.[5]
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika ia menjelaskan suratal-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang hingga santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakirmiskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah para santri mengamalkan perintah itu, baru diganti surat berikutnya.[6]
Pada awal gerakan Muhammadiyah, publik umat sering mengritik dengan mengatakan bahwa pengikut Muhammidiyah tidak tahan lapar dan haus, karena makan sahur menjelang subuh dan segera berbuka begitu magrib tiba. Sama halnya dengan tuduhan merendahkan martabat kesucian Al Quran, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau Jawa dan bahasa daerah lainnya, khotbah Jumat dalam bahasa serupa.
Kurniawati Hastuti Dewi dalam women leaderhip in Muhammadiyah mengatakan “Beside translating the Quran into javanese language, ohter policies were adopted by Muhammadiyah to support the use of local language, particularly Javanese and Malay, in its publising. Dahlan even permitted muslims to use the Javanese language in their prayers and to introduce the Khutba (Friday sermon) in vernacular language.”[7] Beberapa kebijakan, menerjemahkan Al Quran ke dalam berbagai bahasa, dan khutbah dengan menggunakan bahasa setempat, yang dibuat oleh Muhammadiyah yang mengalami kritikan oleh masyarakat
Tidak bisa dilupakan, bagaimana Kiai ahmad Dahlan menggerakkan perempuan memeperoleh ilmu, melakuakn aksi sosial di luar rumah, yang bisa disebut radikal dan revolusioner. Kaum perempuan didorong untuk meningkatkan kecrdasan melalui pendidikan formal dan non formal seperti pengajian dan kursus-kursus.
As the second largest Islamic organization in Indonesia, Muhammadiyah’s approach to women’s status including women’s leadership has a strong impact on public discourse on women.[8]Dalam pendekatan Muhammadiyah terdapat kepemimpinan yang dipimpin wanita yang telah memberi dampak yang besar terhadap pandangan publik terhadap wanita sama halnya ketika Siti Walidah, istri Kiai Dahlan, pergi ke berbagai kota memenuhi tugas sosial perempuan Muhammadiyah. Di mana Kiai sudah mendirikan perkumpulan preempuan yang dikenal dengan nama Aisyah yang diresmikan 5 Januari 1992. Hingga hari ini banyak organisasi yang dipimpin oleh wanita.
Gagasan dasar Dahlan terletak pada pararelitas kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengalaman kemanusian. Kerja keras Kiai Dahlan bukan untuk akumulasi kapital, tetapi pelatakan fondasi gerakan perbaikan kehidupan diniawi dan kerja sosial Kiai didasari pandangan bahwa kebenaran dan kebaikan Islam ialah manfaatnya bagi semua orang tanpa batas agama dan bangsa.
Selain itu Muhammadiyah mempelopori pengelolaan perjalanan haji ke Tanah Suci secara modern dengan mendirikan kapal haji. Perjalanan haji itu, kini dikelola pemerintah yakni Departemen Agama.
[1] Muh. Dahlan, K.H. Ahmad Dahlan Sebagai Tokoh Pembaharu, Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014, hal 122-131
[2] Ibid
[3] Suyonto Usman, Purubahan Sosial. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015) hal. 44
[4] Nurul Hidayah. Kepemimpinan Visioner Kepala Sekolah dalam Meningkatakan Mutu Pendidikan. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2016) hal. 96
[5]Fandi Ahmad, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Dan Implementasinya Di Smp Muhammadiyah 6 Yogyakarta Tahun 2014/2015, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 2, Desember 2015: 144-154
[6] Siti Arofah, dan Maarif Jamu’in, Gagasan Dasar Dan Pemikiran Pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan, Tajdida, Vol. 13, No. 2, Desember 2015, hal 114-124
[7]Ahamad Najid Burhani, Revealing the Neglected Mission: Some Comments on the javanese Elements of Muhammadiyah Reformism. Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol. 12, no. 1, 2005, hal 101-130
[8] Kurniawati Hastuti Dewi, Perspective versus Practice: Women’s Leadership in Muhammadiyah, SOfOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia Vol. 23, No. 2 (2008), pp.161