Bagian ketiga, perempuan dan kebudayaan melawan takdir, yang mengkaji tentang pembudayaan agama. Keyakinan tentang Islam yang di wahyukan Allah SWT, seringkali dilawankan dengan Islam sebagai konstruksi ijtihad ulama sebagai produk kebudayaan. Kesalahletakkan kebudyaan di stu sisi, dan wahyu di sisi lain, merupakan akar hampir semua problem sosial dan politik pemeluk Islam, padahal kebudayaan adalah jalan realisasi ajaran Tuhan itu sendiri. Dari sini, gerakan sosial Kiai Ahmad Dahlan bisa disebut sebagai suatu gerakan aksi melawan “takdir” sosial.
Praktik keagamaan harus dikembangkan sebagai proses sosial, dimana konsesus menjadi media pemberlakuan ajaran sesuai kebudayaan dan kepentingan sosial umat pemeluk, di dalam masyarakat luas dengan beragam agama, paham agama dan politik. Sayang, doktrin “Kembali pada Al Quran dan Sunnah” dipahami sebagai anti bid’ah, diterjemahkan dengan penhancuran semua tradisi yang hidup dimasyarakat hanya karena tidak ditemukan dalam tradisi kenabian Muhammad SAW.
Sebagai contoh, Muhammadiyah tampaknya gagal memahami bahwa yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, sebenarnya merupakan praktik kebudayaan yang tidak pernah ada dalam tradisi kenabian Muhammad SAW, juga dalam sejarah Islam. Praktik kebudyaanlah sebernanya inti pembaruan Islam-nya Kiai Ahmad Dahlan sebagai “Revolusi Kebudayaan”.
Muhammadiyah dari tendensi kultural menuju tendensi puritan. Pada awal berdirinya, Muhammadiyah merupakan representasi Islam varian Jawa. Ia lahir di Kauman, satu tempat dalam lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi dalem Kraton tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen, Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan).[1]
Pada masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan, berbagai program dan kegiatan Muhammadiyah merupakan magnet besar yang menyerap kekuatan dan modal sosial hampir semua kelas sosial, sehingga membangkitkan partispasi publik. Partispasi publik tersebut, dapat dilihat dari perkembangan gerakan ini yang terus meluas ke segala penjuru tanah air. Perkembangan itu juga bisa dilihat melalui kagiatan dan program ini, seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, yang dikenal dengan amal usaha.
Pokok pandangan Kiai Ahamad Dahlan bisa dilihat dari kutipan ringkas berikut. “Sebagian besar pemimipin belum menaruh perhatian pada kebaikan dan kesejahteraan manusia, akan tetapi baru memperhatikan kaum dan golongannya sendiri.”Bagi Kiai , kebenaran dan kesalahan ialah kesedian memperjuankan kesejahteraan seluruh kemanusian, tidak terbatas golongannya sendiri. Kiai lalu menyatakan bahwa orang-orang yang beanar menemukan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orangserta mereka berfikir secara dalam dan luas dalam menetukan baik-buruk, betul salah hanyalah hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci.”
Dimana tujuan kepimimpinan adalah membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan dan menungkatakan motivasi mereka. Jadi, pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara memperlancar produktivitas, moral tinggi, respon yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efesiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi.[2]Kepemimpinan merupakan kegiatan sentral di dalam sebuah kelompok, dengan seorang pimpinan puncak sebagai figur sentral yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengefektifan organisasi untuk mencapai tujuan.[3]
Dewasa ini banyak pemimpin yang hanya mempedulikan organisasinya saja bahkan hanya mementingkan kepentingan pribadinya, organisasi hanyalah jalan untuk mereka dalam mencapai misi pribadinya maka tak heran jika banyak pemimpin yang kurang berhasil dalam mensejahterakan organisasinya dalam arti yang sempit dan kesahteraan masyarakat secara umum.
Apabila seseorang menjadi pemimipin lewat cara yang tidak benar, maka ia akan menggunakan kekuasannya untuk mengarahkan, memperalat, bahkan menguasai orang lain agar selalu mengikutinya. Umumnya, jenis pemimpin sperti ini akan memaksakan kekuasaanya dengan tekanan-tekanan agar diikuti.[4]
Muh. Dahlan berpendapat bahwa Kiai Ahmad Dahlan adalah seorang ulama kharismatik sekaligus kontroversial dimasanya.[5] Kiai Ahmad Dahlan dengan menjadikan kitab Al Quran sehingga Kiai percaya kebenaran akan kepercayaanya sehingga dapat membuat pembaruan sosial dan kemanusian. Seorang tokoh yang sangat berpengaruh pada samanya hingga kini menjadi seseorang yang berkharisma.
Kharisma adalah kualitas special dari pemimpin yang tujuan, kekuasaannya, dan ketegsasannya berbeda dari pemimpin lainnya. Begitulah pemaparan Andrew J Dubrin dalam sebuah buku yang berjudul leadership, bekerja dengan pemimpin kharismatik sama halnya dengan seseorang yang menjalin hubungan karena seseorang itu memiliki hal menarik dan menggairahkan. [6] Dengan konsep welas asih mampu meggerakkan seseorang melakukan tindakan sosial membela sesama, itu bisa dilihat pada kesedian dokter-dokter Belanda bekerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tanpa dibayar.
Pemimipin yang karismatik mampu mengekspresikan harapan tinggi untuk pengikut, serta membantu meraka mendapatkan keyakinan dan nilai-nilai. Secara ringkas, pemimpin karismatik dapat mengikat pengikut dan konsep diri mereka untuk identitas organisasi.[7]Gerakan Muhammadiyah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan hingga kini berkembang sebagai organisasi Islam dari sekian banyaknya organisasi yang ada di Indonesia.
Dengan pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh Kiai Ahmad Dahlan menjadikan dirinya sekaligus seabagai pemimipin spritual. Pemimpin spiritual berbeda dengan pamimipin pada umumnya. Ia tidak alergi dengan parubahan dan juga bukan penikmat kemapanan. Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang degan perubahan , Ia sadar bahwa kehadirannya sebagai pemimpin memang untuk membawa perubahan.[8] Di mana pada masa lalu, apa yang dilakukan Muhammadiyah dikecam sebagai agama baru dengan adanya beberapa pembaruan yang dilakukan Kiai seperti halnya shalat Hari Raya di tempat terbuka, sahur di akhir waktu, dll. Namun kini kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi keagamaan yang dilakukan oleh semua orang tidak terbatas pada pengikut Muhammadiyah.
Sebagai kesimpulan buku ini hadir menjelaskan keberadaan Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaharu dalam Islam di Indonesia tidak bisa dipungkiri. Ahmad Dahlan dalam pergerakannya, sangatlah berjasa membentuk kesadaran reformis terhadap masyarakat yang terasa hingga kini. Ahmad Dahlan dengan gerakan pembaharuannya di antara lain, perbaikan arah kiblat, masalah bid’ah dan khurafat, pengembangannya dalam bidang sosial kemasyarakatan dan pendidikan yang dirangkum dalam sebuah organisasi Muhammadiyah yang sarat akan pengalaman dan sejarah, sangat memberi manfaat yang luar biasa terhadap perkembangan Indonesia, khususnya Islam di Indonesia.
Keunggulan buku ini adalah buku ini ditulis oleh seorang dosen dan sekaligus sebagai pengamat sosial dan kemanusiaan. Abdul Munir Mulkhan juga sebagai penulis yang produktif yang telah menulis puluhan buku. Buku yang disusun dari berbagai kumpulan tulisan yang telah diterbitkan di berbagai media bahkan merupakan laporan penulis saat memenuhi tugas sebagai peserta post-doctoral research di McGill University Montreal membuat buku ini sebagai satu karya tulis yang jujur dan komprehensif dalam memetakan berbagai gagasan dan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan.
Meskipun demikian kelemahan buku ini, adanya pengulangan walaupun maksud dan konteksnya berbeda hal ini disebabkan buku ini merupakan bagian dari kumpulan tulisan yang dimana penulis sendiri mengakui hal tersebut dan tidak adanya bab atau sub-bab khusus yang membahas tentang profil Kiai Ahmad Dahlan meski buku ini secara umum membahas jejak pembaruan sang Kiai.
Adapun saran periview terhadap buku yang luar biasa ini alangkah bagusnya jika ada pembahasan khusus yang menjelaskan profil Kiai Ahmad Dahlan sehingga bisa membuat pembaca lebih mengenal siapa sang Kiai meski ada yang menjelaskan di beberapa bagian namun tidak secara komprehensif dan sebaiknya kumpulan tulisan-tulisan bisa lebih diramu lagi hingga tidak terjadi pengulangan di beberapa bagian meski dalam konteks yang berbeda.
[1] Ahmad Najib Burhani, The Ideological Shift Of Muhammadiyah From Cultural Into Puritanical Tendency In 1930s, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 8 No. 1 Tahun 2006, hal 1-22
[2] R. Wayne Pace & Don F. Faules. Organizational Communication. Translated by Deddy Mulyana. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005) cet. 4 hal. 276
[3] Sudaryono. Leadership: Teori dan Praktek Kepemimpinan. ( Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia. 2014) hal 163
[4] Ary Ginanjar. Emotional Spiritual Quotient. (Jakarta: Arga Publising. 2008) cet. 42 hal. 142
[5] Muh. Dahlan, K.H. Ahmad Dahlan Sebagai Tokoh Pembaharu, Jurnal Adabiyah Vol. XIV Nomor 2/2014, hal 122-131
[6] Andrew J Dubrin.The Complete Ideal’s Guides : Leadership. Translated by Tri Wibowo B.S (Jakarta: Prenada. 2009) cet.3 Hal. 44
[7] Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice. Translated by Ati Cahyani. (Jakarta Barat: PT Indeks Permata Puri Media. 2013) cet. 6 Hal. 179
[8] Tobroni, The Spiritual Leadership. (Malang: UMM Press. 2010) cet. 2 hal 25